Wanita dan Budaya dalam Novel Layla Majnun
Wanita dan Budaya Setempat: Layla Majnun
Oleh : Nabila
Layla Majnun adalah sebuah novel karya Nazami Ganjovi yang diadaptasi dari puisi Arab kuno. Novel Layla Majnun bercerita mengenai kisah cinta antara Qays dan Layla, karena cinta mereka tidak disetujui oleh ayahanda Layla, merekapun tidak bisa bersama. Layla dibawa pergi oleh keluarganya dan Qays menjadi gila akan perasaan cinta dan rindu yang ia simpan untuk Layla, begitulah awal mula Qays menyandang nama ‘Majnun’, yang berarti ‘gila’ dalam bahasa Arab.
Cerita ini sangat dipengaruhi oleh budaya Arab. Dapat dilihat dari adanya kabilah-kabilah Arab seperti Kabilah bani Amir yang hidup di lembah Hijaz, terletak diantara Makkah dan Madinah, dan Kabilah bani Qhatibiah yang terletak di lembah Nejd. Kabilah-kabilah inilah yang menunjukkan kebudayaan Arab dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Arab tidak hidup sebagai individu, tetapi dalam sebuah kelompok.
Dikarenakan budaya Arab berlandaskan hukum islam, maka pengaruh agama islam sangat tertara pada cerita Layla Majnun. Salah satu yang dapat dilihat adalah kepercayaan Syed Omri kepada Allah. Tidak sedikit pengarang menulis adegan seputar doa dari Syed Omri dan Qays yang ditujukan kepada Allah (“Syed Omri terus meratap siang dan malam, memohon pada Allah Azzawajalla agar dikaruniai seorang putera yang dapat meneruskan nasab keluarga”). Dalam cerita Layla Majnun sang pengarang juga mengungkit salah satu budaya Islam dalam menunaikan ibadah haji. Haji dalam Islam adalah salah satu tiang agama yang dilaksanakan oleh kaum muslim yang mampu untuk berkunjung ke Arab Saudi dan menjalankan Ibadah. Dalam novel ini, Syed Omri meminta anaknya, Qays, untuk pergi haji dengannya agar ia mendapatkan petunjuk dari Tuhan (“Syed Omri menuruti nasehat mereka untuk menunaikan haji … agar putera kesayangannya memperoleh kesembuhan.).
Proses peminangan dalam novel Layla Majnun juga dapat dijadikan contoh budaya Arab yang berlandaskan hukum Islam. Peminangan dalam cerita Layla Majnun terjadi ketika kedua orangtua, satu pihak dari sang lelaki, dan pihak lainnya dari keluarga perempuan, bertemu dan membicarakan mengenai keinginan untuk menikah. Proses peminangan dalam budaya Arab dan Islam terjadi secara tertutup. Hal ini sama seperti apa yang terjadi di dalam cerita Layla Majnun. Baik proses peminangan Layla dengan Qays atau Layla dengan Ibnu Salam, keduanya terjadi secara tertutup, hanya dihadiri oleh orang tua dari kedua pihak dan beberapa orang dari kabilahnya masing-masing (“Wahai Ayahanda, sudilah engkau meminang gadis yang telah mencuri cahaya mata itu untukku”). Pernikahan dalam budaya Arab juga dilakukan sesegera mungkin, maka dari itu dalam cerita Layla Majnun, ketika Ibnu Salam melihat Layla untuk pertama kalinya, ayahnya tidak menolak untuk meminangkannya.
Gambaran wanita Arab juga terlihat jelas dalam cerita Layla Majnun. Di Arab, seorang wanita harus selalu patut pada laki-laki, baik itu ayahnya atau suaminya, karena di budaya Arab dan Islam, para lelakilah yang dijadikan seorang pemimpin. Karena itu, tokoh Layla digambarkan menjadi seorang tokoh wanita yang sangat patuh kepada ayahnya. Ketika hubungan Qays dan Layla didengar oleh Ayahanda Layla ia segera mengurung Layla dirumah dan membawanya pergi dan Layla pun menuruti ayahnya. Kepatuhan Layla kepada Ayahnya dapat dilihat dari kutipan berikut, “Demikian pula hawa amarah yang telah menguasai pikiran ayah Layla … yaitu mengurung Layla di dalam rumah.” Dan setelah Layla dikurung dan di bawa pergi, tidak sekalipun Layla membantah ayahnya.
Gambaran wanita Arab dalam novel ini juga terlihat ketika Layla diasingkan dari Qays. “Tetapi kemudian ia sadar sebagai puteri jelita kebanggaan kaumnya ia haru selalu menampakkan kebahagiaan yang pura-pura”. Pada potongan kutipan ini, pengarang menggambarkan tuntutan yang cukup berat untuk wanita-wanita Arab. Wanita di Arab diharuskan untuk selalu berpenampilan yang terbaik, harus selalu senang, lembut dan harus menjadi kebanggaan kabilah maupun keluarga, karena perempuan lah yang memegang nama baik sebuah keluarga.
Oleh : Nabila
Layla Majnun adalah sebuah novel karya Nazami Ganjovi yang diadaptasi dari puisi Arab kuno. Novel Layla Majnun bercerita mengenai kisah cinta antara Qays dan Layla, karena cinta mereka tidak disetujui oleh ayahanda Layla, merekapun tidak bisa bersama. Layla dibawa pergi oleh keluarganya dan Qays menjadi gila akan perasaan cinta dan rindu yang ia simpan untuk Layla, begitulah awal mula Qays menyandang nama ‘Majnun’, yang berarti ‘gila’ dalam bahasa Arab.
Cerita ini sangat dipengaruhi oleh budaya Arab. Dapat dilihat dari adanya kabilah-kabilah Arab seperti Kabilah bani Amir yang hidup di lembah Hijaz, terletak diantara Makkah dan Madinah, dan Kabilah bani Qhatibiah yang terletak di lembah Nejd. Kabilah-kabilah inilah yang menunjukkan kebudayaan Arab dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Arab tidak hidup sebagai individu, tetapi dalam sebuah kelompok.
Dikarenakan budaya Arab berlandaskan hukum islam, maka pengaruh agama islam sangat tertara pada cerita Layla Majnun. Salah satu yang dapat dilihat adalah kepercayaan Syed Omri kepada Allah. Tidak sedikit pengarang menulis adegan seputar doa dari Syed Omri dan Qays yang ditujukan kepada Allah (“Syed Omri terus meratap siang dan malam, memohon pada Allah Azzawajalla agar dikaruniai seorang putera yang dapat meneruskan nasab keluarga”). Dalam cerita Layla Majnun sang pengarang juga mengungkit salah satu budaya Islam dalam menunaikan ibadah haji. Haji dalam Islam adalah salah satu tiang agama yang dilaksanakan oleh kaum muslim yang mampu untuk berkunjung ke Arab Saudi dan menjalankan Ibadah. Dalam novel ini, Syed Omri meminta anaknya, Qays, untuk pergi haji dengannya agar ia mendapatkan petunjuk dari Tuhan (“Syed Omri menuruti nasehat mereka untuk menunaikan haji … agar putera kesayangannya memperoleh kesembuhan.).
Proses peminangan dalam novel Layla Majnun juga dapat dijadikan contoh budaya Arab yang berlandaskan hukum Islam. Peminangan dalam cerita Layla Majnun terjadi ketika kedua orangtua, satu pihak dari sang lelaki, dan pihak lainnya dari keluarga perempuan, bertemu dan membicarakan mengenai keinginan untuk menikah. Proses peminangan dalam budaya Arab dan Islam terjadi secara tertutup. Hal ini sama seperti apa yang terjadi di dalam cerita Layla Majnun. Baik proses peminangan Layla dengan Qays atau Layla dengan Ibnu Salam, keduanya terjadi secara tertutup, hanya dihadiri oleh orang tua dari kedua pihak dan beberapa orang dari kabilahnya masing-masing (“Wahai Ayahanda, sudilah engkau meminang gadis yang telah mencuri cahaya mata itu untukku”). Pernikahan dalam budaya Arab juga dilakukan sesegera mungkin, maka dari itu dalam cerita Layla Majnun, ketika Ibnu Salam melihat Layla untuk pertama kalinya, ayahnya tidak menolak untuk meminangkannya.
Gambaran wanita Arab juga terlihat jelas dalam cerita Layla Majnun. Di Arab, seorang wanita harus selalu patut pada laki-laki, baik itu ayahnya atau suaminya, karena di budaya Arab dan Islam, para lelakilah yang dijadikan seorang pemimpin. Karena itu, tokoh Layla digambarkan menjadi seorang tokoh wanita yang sangat patuh kepada ayahnya. Ketika hubungan Qays dan Layla didengar oleh Ayahanda Layla ia segera mengurung Layla dirumah dan membawanya pergi dan Layla pun menuruti ayahnya. Kepatuhan Layla kepada Ayahnya dapat dilihat dari kutipan berikut, “Demikian pula hawa amarah yang telah menguasai pikiran ayah Layla … yaitu mengurung Layla di dalam rumah.” Dan setelah Layla dikurung dan di bawa pergi, tidak sekalipun Layla membantah ayahnya.
Gambaran wanita Arab dalam novel ini juga terlihat ketika Layla diasingkan dari Qays. “Tetapi kemudian ia sadar sebagai puteri jelita kebanggaan kaumnya ia haru selalu menampakkan kebahagiaan yang pura-pura”. Pada potongan kutipan ini, pengarang menggambarkan tuntutan yang cukup berat untuk wanita-wanita Arab. Wanita di Arab diharuskan untuk selalu berpenampilan yang terbaik, harus selalu senang, lembut dan harus menjadi kebanggaan kabilah maupun keluarga, karena perempuan lah yang memegang nama baik sebuah keluarga.
Wanita dalam Novel Para Priyayi
Wanita dan Budaya Setempat – Analisa Novel Para Priyayi
Audi Badzlina
Novel Para Priyayi bercerita tentang kehidupan keluarga para priyayi yang pada masa itu mempunyai status sosial yang dipandang dan dihormati oleh orang desa lainnya. Disini, dapat dilihat bagaimana sang penulis menekankan kepentingan status sosial kepada orang-orang Jawa jaman dahulu.
Didalam novel ini, latar belakang tempat dan waktu merupakan Jawa pada abad ke 20, dimana masyarakat Indonesia masih dijajah Belanda dan kehidupannya masih sangat lekat dengan tradisi-tradisi Islam. Dapat ditemukan banyak bukti peninggalan budaya Islam di Jawa dalam novel Para Priyayi, contohnya dalam kutipan, “sesungguhnya ia ingin memberi nama Islam (meskipun kami tidak sembahyang) seperti Ngali atau Ngusman,” dan juga kutipan, “‘Aisah. Itu rak nama salah satu istri Kanjeng Nabi to, Pakne.’” Karakter-karakter didalam buku rupanya mempunyai nama-nama Islam dan sadar akan sejarah Islam.
Budaya dan adat tradisional Jawa juga dapat dilihat dari bagaimana nama sangatlah terikat dengan status pemiliknya. Inilah mengapa nama Wage diganti menjadi Lantip setelah ia diadopsi oleh sang priyayi, agar terdengar lebih pantas dan tidak terdengar seperti nama orang desa. Bahkan, jika nama tidak sesuai dengan status sosialnya, warga akan bertakhyul dan percaya bahwa akan ada suatu kesialan atau bencana yang akan menimpa si pemilik. Adat ini dapat ditemukan dalam kutipan berikut: “Embok masih bimbang, takut jangan-jangan nama itu nama yang terlalu berat bagi bayi seorang desa.”
Kepentingan nama dalam adat Jawa juga dapat dilihat dengan bagaimana nama Soedarsono diganti menjadi Sastrodarsono karena sudah dianggap dewasa, sehingga dia membutuhkan nama yang terdengar lebih dewasa.
Budaya Jawa yang terkenal dengan kesopanan dan kehalusannya juga dapat dilihat dari pemakaian bahasa mereka. Pemakaian bahasa ini dianggap sangat penting bagi mereka karena menandakan tingkat formalitas. Mereka harus tau kapan untuk berbicara dengan Jawa halus dan Jawa kasar, dan kapan mereka harus menggunakan ‘bahasa basa-basi’ agar dapat dinilai sebagai orang yang bertata krama. kutipan, “tanpa basa-basi dan kembang bahasa alangkah akan keringnya kehidupan” menjelaskan bagaimana Sastrodarsono sangat menghargai dan menyukai adat basa-basi sebagai suatu karakteristik budaya Jawa.
Banyak sekali contoh-contoh budaya Jawa lainnya yang ada didalam novel Para Priyayi, seperti bagaimana perbedaan priyayi dengan orang desa biasa dalam penataan rumah, acara pernikahan, makanan-makanan yang dimakan, pekerjaan, kehidupan sosial, dan bahkan fitur-fitur fisik. Dapat juga ditemukan beberapa pengaruh Belanda dalam penamaan sekolah-sekolah dan tempat-tempat yang berwibawa seperti Normaal dan Kweeksekul. Pengaruh Belanda ini juga dapat dibuktikan dengan bagaimana, didalam novel, mempelajari bahasa Belanda sangatlah penting agar dapat mempunyai posisi yang baik didalam pemerintahan atau gupermen.
Peranan wanita jugalah salah satu bagian dari budaya Jawa yang sangat menonjol. Didalam novel, wanita hanyalah dapat menjadi istri atau penghibur. Satu-satunya cara untuk wanita agar dapat meningkatkan pangkat atau status sosialnya adalah dengan menikahi laki-laki yang berstatus tinggi. Hampir tidak ada wanita yang bekerja. Perkerjaan wanita hanyalah sebatas pekerjaan-pekerjaan sederhana seperti pekerjaan ibunya Lantip sebagai penjual tempe. Dapat dilihat dari kutipan “inilah anak laki-laki sulung yang akan menjadi penerus utama keluarga kami,” bahwa kelahiran anak laki-laki lebih dibanggakan dan diinginkan karena dapat memimpin penerusan keluarga besarnya.
Wanita, walaupun mendapat pendidikan dasar yang sama dengan laki-laki, juga mendapatkan perlakuan dan pelatihan yang berbeda. Perempuan dinilai sebagai perempuan yang pintar dan baik jika mereka bisa mengurus rumah dan anak, dan juga bertata krama dengan baik didepan para tamu, sedangkan laki-laki akan diajar untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan dapat menjadi guru, asisten wedan, dan lainnya. Perlakuan ini dapat dilihat dari kutipan, “ia adalah erempuan yang, agaknya, memang sudah disiapkan orang-tuanya untuk menjadi istri priyayi yang mumpuni.” Selanjutnya narasi Sastrodarsono mendeskripsikan bagaimana istrinya dapat memimpin para pembantu dan juga mengatur rumah dengan aturan yang baik. Ini adalah bukti bagaimana, pada masa itu, wanita hanya dapat dinilai baik dan cerdas jika mereka menjadi istri yang baik.
Keterbatasan peran wanita juga dapat dilihat dari kutipan, “kau pikirkan saja bagaimana membesarkan anak-anak kita dengan baik,” dimana wanita hanya diharapkan untuk menjadi perawat rumah dan anak yang baik, tidak dapat menjadi bagian dari pekerjaan suami. Kutipan perkataan Aisah, istri Sastrodarsono, yang berbunyi, “soalnya Kamas kalau sudah punya kehendak…” juga menandakan bahwa jika suami sudah memutuskan sesuatu, sang istri tidak boleh menentangnya. Istri mempunyai sedikit pengaruh dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
Audi Badzlina
Novel Para Priyayi bercerita tentang kehidupan keluarga para priyayi yang pada masa itu mempunyai status sosial yang dipandang dan dihormati oleh orang desa lainnya. Disini, dapat dilihat bagaimana sang penulis menekankan kepentingan status sosial kepada orang-orang Jawa jaman dahulu.
Didalam novel ini, latar belakang tempat dan waktu merupakan Jawa pada abad ke 20, dimana masyarakat Indonesia masih dijajah Belanda dan kehidupannya masih sangat lekat dengan tradisi-tradisi Islam. Dapat ditemukan banyak bukti peninggalan budaya Islam di Jawa dalam novel Para Priyayi, contohnya dalam kutipan, “sesungguhnya ia ingin memberi nama Islam (meskipun kami tidak sembahyang) seperti Ngali atau Ngusman,” dan juga kutipan, “‘Aisah. Itu rak nama salah satu istri Kanjeng Nabi to, Pakne.’” Karakter-karakter didalam buku rupanya mempunyai nama-nama Islam dan sadar akan sejarah Islam.
Budaya dan adat tradisional Jawa juga dapat dilihat dari bagaimana nama sangatlah terikat dengan status pemiliknya. Inilah mengapa nama Wage diganti menjadi Lantip setelah ia diadopsi oleh sang priyayi, agar terdengar lebih pantas dan tidak terdengar seperti nama orang desa. Bahkan, jika nama tidak sesuai dengan status sosialnya, warga akan bertakhyul dan percaya bahwa akan ada suatu kesialan atau bencana yang akan menimpa si pemilik. Adat ini dapat ditemukan dalam kutipan berikut: “Embok masih bimbang, takut jangan-jangan nama itu nama yang terlalu berat bagi bayi seorang desa.”
Kepentingan nama dalam adat Jawa juga dapat dilihat dengan bagaimana nama Soedarsono diganti menjadi Sastrodarsono karena sudah dianggap dewasa, sehingga dia membutuhkan nama yang terdengar lebih dewasa.
Budaya Jawa yang terkenal dengan kesopanan dan kehalusannya juga dapat dilihat dari pemakaian bahasa mereka. Pemakaian bahasa ini dianggap sangat penting bagi mereka karena menandakan tingkat formalitas. Mereka harus tau kapan untuk berbicara dengan Jawa halus dan Jawa kasar, dan kapan mereka harus menggunakan ‘bahasa basa-basi’ agar dapat dinilai sebagai orang yang bertata krama. kutipan, “tanpa basa-basi dan kembang bahasa alangkah akan keringnya kehidupan” menjelaskan bagaimana Sastrodarsono sangat menghargai dan menyukai adat basa-basi sebagai suatu karakteristik budaya Jawa.
Banyak sekali contoh-contoh budaya Jawa lainnya yang ada didalam novel Para Priyayi, seperti bagaimana perbedaan priyayi dengan orang desa biasa dalam penataan rumah, acara pernikahan, makanan-makanan yang dimakan, pekerjaan, kehidupan sosial, dan bahkan fitur-fitur fisik. Dapat juga ditemukan beberapa pengaruh Belanda dalam penamaan sekolah-sekolah dan tempat-tempat yang berwibawa seperti Normaal dan Kweeksekul. Pengaruh Belanda ini juga dapat dibuktikan dengan bagaimana, didalam novel, mempelajari bahasa Belanda sangatlah penting agar dapat mempunyai posisi yang baik didalam pemerintahan atau gupermen.
Peranan wanita jugalah salah satu bagian dari budaya Jawa yang sangat menonjol. Didalam novel, wanita hanyalah dapat menjadi istri atau penghibur. Satu-satunya cara untuk wanita agar dapat meningkatkan pangkat atau status sosialnya adalah dengan menikahi laki-laki yang berstatus tinggi. Hampir tidak ada wanita yang bekerja. Perkerjaan wanita hanyalah sebatas pekerjaan-pekerjaan sederhana seperti pekerjaan ibunya Lantip sebagai penjual tempe. Dapat dilihat dari kutipan “inilah anak laki-laki sulung yang akan menjadi penerus utama keluarga kami,” bahwa kelahiran anak laki-laki lebih dibanggakan dan diinginkan karena dapat memimpin penerusan keluarga besarnya.
Wanita, walaupun mendapat pendidikan dasar yang sama dengan laki-laki, juga mendapatkan perlakuan dan pelatihan yang berbeda. Perempuan dinilai sebagai perempuan yang pintar dan baik jika mereka bisa mengurus rumah dan anak, dan juga bertata krama dengan baik didepan para tamu, sedangkan laki-laki akan diajar untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi dan dapat menjadi guru, asisten wedan, dan lainnya. Perlakuan ini dapat dilihat dari kutipan, “ia adalah erempuan yang, agaknya, memang sudah disiapkan orang-tuanya untuk menjadi istri priyayi yang mumpuni.” Selanjutnya narasi Sastrodarsono mendeskripsikan bagaimana istrinya dapat memimpin para pembantu dan juga mengatur rumah dengan aturan yang baik. Ini adalah bukti bagaimana, pada masa itu, wanita hanya dapat dinilai baik dan cerdas jika mereka menjadi istri yang baik.
Keterbatasan peran wanita juga dapat dilihat dari kutipan, “kau pikirkan saja bagaimana membesarkan anak-anak kita dengan baik,” dimana wanita hanya diharapkan untuk menjadi perawat rumah dan anak yang baik, tidak dapat menjadi bagian dari pekerjaan suami. Kutipan perkataan Aisah, istri Sastrodarsono, yang berbunyi, “soalnya Kamas kalau sudah punya kehendak…” juga menandakan bahwa jika suami sudah memutuskan sesuatu, sang istri tidak boleh menentangnya. Istri mempunyai sedikit pengaruh dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
Apresiasi Puisi Melalui Lukisan
Judul: Akulah Sang Hujan
Diapresiasi dari puisi: Hujan Bulan Juni
Karya: Sapardi Djoko Damono
Makna Puisi:
Hujan Bulan Juni adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono, ia menceritakan perjalanan seorang tokoh yang dari awal menyimpan perasaannya sampai pada akhirnya walaupun tidak secara langsung disampaikan, sang tokoh membiarkan perempuan itu mengerti dengan sendirinya.
Dalam puisinya, hujan telah diberi sebuah jiwa sehingga menggambarkan seseorang yang tabah, bijak dan arif, karena itulah pokok utama lukisan ini adalah seorang lelaki yang terbuat dari air hujan. Warna biru pada latar lukisan dan tokohnya sendiri juga melambangkan kesetiaan dan kepercayaan. Tangan yang menggenggam erat sebuah hati juga mempunyai arti ketidak inginannya untuk melepas perasaannya yang tidak pernah tersampaikan, ekspresi didalam puisi juga didukung oleh wajah tokoh utama lukisan yang sedang terlihat sedih. Disekitar lukisan juga terdapat berbagai macam bunga, dimana setiap bunga yang dilukis mempunyai artinya tersendiri. Seperti contoh, semanggi (pikirkanlah saya), bunga Holly (harapan), bunga Iris (pesan), bunga Sage (kebijakan) dan bunga Savita berwarna biru (memikirkanmu)
Diapresiasi dari puisi: Hujan Bulan Juni
Karya: Sapardi Djoko Damono
Makna Puisi:
Hujan Bulan Juni adalah puisi karya Sapardi Djoko Damono, ia menceritakan perjalanan seorang tokoh yang dari awal menyimpan perasaannya sampai pada akhirnya walaupun tidak secara langsung disampaikan, sang tokoh membiarkan perempuan itu mengerti dengan sendirinya.
Dalam puisinya, hujan telah diberi sebuah jiwa sehingga menggambarkan seseorang yang tabah, bijak dan arif, karena itulah pokok utama lukisan ini adalah seorang lelaki yang terbuat dari air hujan. Warna biru pada latar lukisan dan tokohnya sendiri juga melambangkan kesetiaan dan kepercayaan. Tangan yang menggenggam erat sebuah hati juga mempunyai arti ketidak inginannya untuk melepas perasaannya yang tidak pernah tersampaikan, ekspresi didalam puisi juga didukung oleh wajah tokoh utama lukisan yang sedang terlihat sedih. Disekitar lukisan juga terdapat berbagai macam bunga, dimana setiap bunga yang dilukis mempunyai artinya tersendiri. Seperti contoh, semanggi (pikirkanlah saya), bunga Holly (harapan), bunga Iris (pesan), bunga Sage (kebijakan) dan bunga Savita berwarna biru (memikirkanmu)
Analisa Unsur Batin Puisi
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
1. Tema
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono mempunyai tema percintaan. Tema ini dapat dilihat dari penggunaan kata di dalam puisi, seperti contoh, kata ‘bunga’, ‘rindu’, dan ‘hujan’, potongan-potongan kata tersebut bila digambarkan dan dicermati akan membentuk suasana yang romantis. Tema juga bisa diambil dari cara penulisan diksi, diksi sederhana yang dipakai pada puisi Hujan Bulan Juni memberikan kesan bahwa puisi tersebut dibuat untuk seseorang agar ia dapat mengerti arti yang tersirat di dalam puisi.
2. Amanat/Tujuan
Dengan tema yang seputar dengan cinta, amanat dan tujuan puisi Hujan Bulan Juni adalah untuk menyampaikan perasaan rindu atau cinta yang tertahan dan tidak pernah diucapkan. Dapat dilihat dari keseluruhan puisi bahwa sang ‘hujan’ merahasiakan rintik rindunya kepada sang bunga (‘Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.’). Satu lagi amanat yang tersirat pada puisi ini adalah: orang yang menanti dengan sabar akan menjadi lebih bijaksana dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Amanat ini diajukan sebab puisi juga menceritakan mengenai penantian seseorang, yang dengan sabar menunggu untuk menyampaikan perasaan rindu dan cintanya. Sehingga seseorang tersebut menjadi seorang yang tabah, bijak dan arif.
3. Isi & Makna
Hujan Bulan Juni adalah sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang menceritakan mengenai seseorang yang sedang menahan perasaan rindu dan cinta. Kata “Hujan Bulan Juni” didalam puisi bukanlah rintik-rintik air, tetapi dapat dilambangkan sebagai perjalanan seseorang yang tadinya menyimpan perasaan rindu dan cintanya. Dikarenakan puisi ini dibuat pada tahun 1989, maka turunnya hujan pada bulan Juni adalah hal yang mustahil, sebab musim pada bulan Juni adalah kemarau. Dengan ini perasaan rindu dan cinta yang tertahan diilustrasikan seperti bagaimana hujan yang ‘menahan’ untuk turun pada bulan Juni.
Sapardi Djoko Damono juga memberikan kata ‘Hujan’ sebuah jiwa yang memiliki sifat tabah, bijak dan arif. Dalam bait pertama sang ‘hujan’ masih menahan perasaannya sebab itu diberi sifat tabah. Dapat dilihat pada kalimat “dirahasiakan rintik rindunya pada pohon yang berbunga itu”, kalimat tersebut menceritakan mengenai perasaan rindu atau cinta sang tokoh utama kepada seorang perempuan (‘pohon berbunga’). Bait berikutnya sang ‘hujan’ menjadi seseorang yang bijak karena ia dapat melepas masa lalu agar pilihan sang ‘hujan’ tidak terpengaruhi oleh masa lalunya. Dibait inilah sang tokoh utama sempat ragu, apa ia harus menyampaikan perasaannya atau tidak, tetapi pada akhirnya, sang tokoh mengerti bahwa keraguan tidak akan membantunya. Maka dengan itu ia hapus segala keraguan yang ada di dalam dirinya (“dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu di jalan itu.”) . Pada bait terakhir penulis membicarakan mengenai perasaan sang ‘hujan’, yang walaupun tidak secara langsung disampaikan, ia membiarkan perempuan itu mengerti dengan sendirinya (“dibiarkan yang tak terucapkan diserap akar pohon berbunga itu”).
4. Rasa
Rasa dalam puisi ini dapat kita rasakan setelah membaca bait demi bait puisi secara keseluruhan. Dengan membaca puisi ini, dapat dengan jelas terasa kerinduan sang penyair yang sangat dalam kepada seorang perempuan. Namun kerinduan ini tidak dibuat menjadi hal yang negatif, karena kerinduan inilah sang penyair menyampaikan bahwa ia dapat membangun sifat yang bijaksana, tabah dan arif.
Perasaan rindu yang dirasakan oleh penyair juga diikuti dengan penantian yang menguji seberapa kuat sang penyair menunggu ‘pohon berbunga’ nya. Karena itulah juga muncul keresahan, lebih baik menunggu atau meninggalkan.
5. Nada
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai seorang seniman, selain keterlibatannya dalam bidang sastra, ia juga dapat bermain alat musik, menari dan bermain drama. Dengan itulah puisi Hujan Bulan Juni dapat mempunyai nada yang mendayu. Karena keahliannya dalam bidang seni puisi ini terdengar lembut dengan suasana yang romantis, dan suasana tersebut tidak seperti dibuat-buat karena pemilihan katanya yang sederhana.
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
1. Tema
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono mempunyai tema percintaan. Tema ini dapat dilihat dari penggunaan kata di dalam puisi, seperti contoh, kata ‘bunga’, ‘rindu’, dan ‘hujan’, potongan-potongan kata tersebut bila digambarkan dan dicermati akan membentuk suasana yang romantis. Tema juga bisa diambil dari cara penulisan diksi, diksi sederhana yang dipakai pada puisi Hujan Bulan Juni memberikan kesan bahwa puisi tersebut dibuat untuk seseorang agar ia dapat mengerti arti yang tersirat di dalam puisi.
2. Amanat/Tujuan
Dengan tema yang seputar dengan cinta, amanat dan tujuan puisi Hujan Bulan Juni adalah untuk menyampaikan perasaan rindu atau cinta yang tertahan dan tidak pernah diucapkan. Dapat dilihat dari keseluruhan puisi bahwa sang ‘hujan’ merahasiakan rintik rindunya kepada sang bunga (‘Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu.’). Satu lagi amanat yang tersirat pada puisi ini adalah: orang yang menanti dengan sabar akan menjadi lebih bijaksana dan mendapatkan hasil yang memuaskan. Amanat ini diajukan sebab puisi juga menceritakan mengenai penantian seseorang, yang dengan sabar menunggu untuk menyampaikan perasaan rindu dan cintanya. Sehingga seseorang tersebut menjadi seorang yang tabah, bijak dan arif.
3. Isi & Makna
Hujan Bulan Juni adalah sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang menceritakan mengenai seseorang yang sedang menahan perasaan rindu dan cinta. Kata “Hujan Bulan Juni” didalam puisi bukanlah rintik-rintik air, tetapi dapat dilambangkan sebagai perjalanan seseorang yang tadinya menyimpan perasaan rindu dan cintanya. Dikarenakan puisi ini dibuat pada tahun 1989, maka turunnya hujan pada bulan Juni adalah hal yang mustahil, sebab musim pada bulan Juni adalah kemarau. Dengan ini perasaan rindu dan cinta yang tertahan diilustrasikan seperti bagaimana hujan yang ‘menahan’ untuk turun pada bulan Juni.
Sapardi Djoko Damono juga memberikan kata ‘Hujan’ sebuah jiwa yang memiliki sifat tabah, bijak dan arif. Dalam bait pertama sang ‘hujan’ masih menahan perasaannya sebab itu diberi sifat tabah. Dapat dilihat pada kalimat “dirahasiakan rintik rindunya pada pohon yang berbunga itu”, kalimat tersebut menceritakan mengenai perasaan rindu atau cinta sang tokoh utama kepada seorang perempuan (‘pohon berbunga’). Bait berikutnya sang ‘hujan’ menjadi seseorang yang bijak karena ia dapat melepas masa lalu agar pilihan sang ‘hujan’ tidak terpengaruhi oleh masa lalunya. Dibait inilah sang tokoh utama sempat ragu, apa ia harus menyampaikan perasaannya atau tidak, tetapi pada akhirnya, sang tokoh mengerti bahwa keraguan tidak akan membantunya. Maka dengan itu ia hapus segala keraguan yang ada di dalam dirinya (“dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu di jalan itu.”) . Pada bait terakhir penulis membicarakan mengenai perasaan sang ‘hujan’, yang walaupun tidak secara langsung disampaikan, ia membiarkan perempuan itu mengerti dengan sendirinya (“dibiarkan yang tak terucapkan diserap akar pohon berbunga itu”).
4. Rasa
Rasa dalam puisi ini dapat kita rasakan setelah membaca bait demi bait puisi secara keseluruhan. Dengan membaca puisi ini, dapat dengan jelas terasa kerinduan sang penyair yang sangat dalam kepada seorang perempuan. Namun kerinduan ini tidak dibuat menjadi hal yang negatif, karena kerinduan inilah sang penyair menyampaikan bahwa ia dapat membangun sifat yang bijaksana, tabah dan arif.
Perasaan rindu yang dirasakan oleh penyair juga diikuti dengan penantian yang menguji seberapa kuat sang penyair menunggu ‘pohon berbunga’ nya. Karena itulah juga muncul keresahan, lebih baik menunggu atau meninggalkan.
5. Nada
Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai seorang seniman, selain keterlibatannya dalam bidang sastra, ia juga dapat bermain alat musik, menari dan bermain drama. Dengan itulah puisi Hujan Bulan Juni dapat mempunyai nada yang mendayu. Karena keahliannya dalam bidang seni puisi ini terdengar lembut dengan suasana yang romantis, dan suasana tersebut tidak seperti dibuat-buat karena pemilihan katanya yang sederhana.